Antisipasi Konflik, Kemenag Sumbar Lakukan Identifikasi Dini Aliran Paham Keagamaan

Batusangkar, Humas—Mengantisipasi munculnya konflik keagamaan di tengah masyarakat, Kantor Wilayah Kementerian Agama Provinsi Sumatera Barat melalui Bidang Urusan Agama Islam menggelar kegiatan identifikasi dan deteksi dini aliran paham keagamaan.

Kegiatan ini menghadirkan Kasubdit Bina Paham Keagamaan Ditjen Bimas Islam Kemenag RI, Dedi Slamet Rriyadi didampingi Kepala Bidang Urais, Edison. Turut hadir Kakan Kemenag Tanah Datar, Amril, Ketua TimKerja Bina Paham, Amrizal.

Kegiatan dibuka Kakanwil Kemenag sumbar diwakili Kepala Bidang Urais, Edison. Mengawali sambutannya Edison menyampaikan salam maaf Kepala Kanwil Kemenag Provinsi Sumatera Barat, Mahyudin yang belum berkesempatan menghadiri langsung kegiatan tersebut. 

Kakanwil sangat mengapresiasi kegiatan tersebut dan mengajak walinagari dan  tokoh adat untuk bersinergi dengan Kemenag untuk melakukan antisipasi dan pengawasan masuknya aliran paham keagamaan yang bermasalah di Sumatera Barat.

Dikatakan Edison, Kanwil Kemenag Sumbar bekerja sama dengan Ormas Keagamaan dan tokoh masyarakat terus melakukan upaya pencegahan terhadap munculnya potensi konflik.

“Diantara upaya yang dilakukan itu dengan terus menyosialisasikan program Menteri Agama tentang arti penting dari moderasi beragama. Bagaimana merubah pola berfikir masyarakat untuk tdak terperangkap dengan pembenaran sendiri atau menyalahkan orang lain,” jelas Edison.

Disamping itu, kata Kabid Urais Kemenag Sumbar juga terus memberdayakan Kepala KUA dan Penghulu untuk terus memantau perkembangan pemahaman masyarakat, baik melalui rumah ibadah maupun kegiatan keagamaan kemasyarakatan.

Sementara dalam kesempatan itu, Kasubdit memaparkan bagaimana mengantisipasi dan mitigasi konflik sosial akibat aliran dan mazhab keagamaan yang menimbulkan polemik di masyarakat.

Dikatakannya, menurut penelitian terakhir tentang konflik/polemik sosial keagamaan, kerja sama antara Balitbangdiklat Kemenag RI dan Lakpesdam PBNU, dalam kurun waktu 2019-2022 ada 86 konflik keagamaan.

“Dari 86 konflik keagamaan ini 57 kasus (66 persen) adalah kasus intra agama dan 29 kasus (34 persen) kasus antar agama,” ungkapnya Kamis (26/10) di hadapan tokoh masyarakat dan perangkat nagari Tanah Datar.

Pemicu konflik antar agama lanjut Dedi,dari 29 kasus, 16 (55 persen) konflik rumah ibadah, 11 kasus (38 persen) pembatasan ekspresi keagamaan, dan 2 kasus ( 7 persen) pemaksaan atribut keagamaan.

“Sementara, pemicu konflik intra agama dari 57 kasus, 30 kasus (53 persen) pemberian label sesat, 15 kasus (26 persen) pembatasan aktivitas, 11 kasus (19 persen) rumah ibadah, dan 1 kasus (2 persen) terorisme,” jelasnya lagi.

Diakui Kasubdit, ada beberapa potensi sumber polemik yang bisa muncul ditengah-tengah masyarakat diantaranya, perbedaan dan keragaman tafsir atas sumber hukum islam. Kemudian perbedaan prinsip-prinsip keyakinan, dan eksklusivitas kelompok paham keagamaan.

“Kita bisa ambil sampel kontroversi Pondok Pesantren Al Zaitun yang menolak memberikan klarifikasi saol kontroversinya. Hal ini tentu perlu ada tindakan dari pemerintah untuk menyelesaikan supaya tidak berkelanjutan,” jelasnya.

Untuk itu kata Kasubdit harus ada upaya antisipasi dan mitigasi konflik sosial akibat resistensi masyarakat terhadap kelompok yang memicu polemik.

Ha ini sesuai dengan Keputusan Menteri Agama No. 332 tahun 2023 tentang Sistem Peringatan Dini Konflik Sosial Berdimensi Keagamaan.

“Diantara hal yang harus dilakukan adalah identifikasi kelompok, paham, mazhab, keagamaan yang berpotensi memicu polemik atau konflik sosial, deteksi dini dan cegah dini,” terangnya.

Dijelaskannya secara detail, deteksi dini, kegiatan menghimpun dan menganalisis informasi secara cepat dan akurat mengenai potensi konflik sosiala berdimensi keagamaan, sesuai KMA No. 332 tahun 2023.

Sementara cegah dini imbuh Kasbudit tindakan cepat dan tepat untuk mencegah potensi konflik sosial berdimensi keagamaan berkembang menjadi konflik terbuka dan mengalami peningkatan. Rinarisna


Editor: -
Fotografer: -