FGD Sertifikasi Halal Jasa Penyembelihan, Ketua Komisi Fatwa MUI: Proses Penyembelihan Tentukan Kehalalan

Padang (Humas)- Proses penyembelihan sangat menentukan kehalalan daging yang dikonsumsi masyarakat. Indonesia sebagai negara dengan mayoritas penduduk beragama Islam perlu memiliki sistem jaminan kehalalan yang dapat menjamin ketenteraman batin masyarakat, dalam mengkonsumsi produk pangan yang beredar. Baik produk pangan yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri.

Begitu diungkapkan salah seorang narasumber dari LPPOM MUI Zainal Azwar dalam giat FGD Dukungan Fasilitasi Sertifikasi Halal Jasa Penyembelihan siang ini, Rabu (29/05/24) di Fave Hotel Padang.

Menurut Buya Zainal diantara produk pangan yang ada, pangan asal hewan terutama daging yang berasal dari jenis hewan halal, seperti ruminansia dan unggas, memiliki risiko tinggi menjadi pangan tidak halal akibat proses produksi atau pencampuran bahan tambahan pangan yang tidak halal.

Iya menilai salah satu titik kritis yang dapat menyebabkan daging ruminansia dan unggas menjadi tidak halal adalah proses penyembelihan hewan yang tidak sesuai dengan syari’at agama Islam. Peran juru sembelih halal menjadi sangat penting dalam menentukan hal ini.

Ia menuturkan sejalan dengan kesadaran akan makanan halal maka buah dari UU nomor 33 tahun 2024 tentang jaminan produk halal, selain berdampak pada sertifikasi halal tapi juga berdampak pada pariwisata halal.

Tercantum dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 13 Tahun 2010 tentang Persyaratan Rumah Potong Hewan Ruminansia (RPH-R) dan Unit Penanganan Daging (Meat Cutting Plant), setiap RPH-R wajib memiliki seorang juru sembelih halal yang memiliki kompetensi tidak hanya dari aspek syari’at Islam, namun juga dari aspek teknis kesehatan masyarakat veteriner dan kesejahteraan hewan (animal welfare).

“Untuk itu proses menyembelih, baik pada RPH-R maupun RPH-U dengan semua skala, tetap dilakukan secara manual oleh juru sembelih halal (juleha) menggunakan pisau setiap ekornya,” jelas Ketua Komisi Fatwa MUI Sumbar tersebut.

Buya Zainal menyoroti sejauh ini, dalam beberapa kasus tak jarang dijumpai penyembelihan ayam di pasar-pasar tradisional yang dilakukan dengan proses tidak memenuhi syarat. 

“Misalnya tidak sampai memotong urat tenggorokan, dan hanya melukai kulit saja, atau proses stuning yang mengakibatkan penderitaan bagi hewan yang akan dimatikan atau cara lainnya,” terangnya.

Ia melihat hal itu terjadi karena penyembelihan ayam atau daging hewan lainnya di pasar tradisional biasanya dilakukan sendiri oleh segelintir pedagang. Dimana umumnya tidak diketahui keabsahannya di bidang penyembelihan halal.

“Penyembelihan seperti itu tentu tidak sah, karena tidak sampai memotong tenggorokan atau bagian leher di bawah pangkal kepala hingga terputusnya saluran nafas (al-hulqúm), dua jalan darar (wadajain) dan jalan makanan (al-mari’).” Tegasnya.

Ia menekankan bahwa mematikan hewan jika tidak disembelih, sama saja dengan mengkonsumsi bangkai. Walaupun zatnya halal dimakan, ketika dia dibunuh tanpa sesuai syariat Islam, maka sama dengan memakai bangkai. 

“Hal itu tertuang jelas dalam surat Almaidah ayat 3 yang berbunyi diharamkan kepadamu untuk memakan bangkai.” Ujarnya.

Bagaimana pun komisi fatwa MUI dalam setiap sidangnya menyebutkan salah satu syarat restoran wisata halal bisa bersertifikat halal, jika sudah dipastikan sumber  olahan daging sudah mengantongi sertifikat halal.

Secara definisi menyembelih bermakna  mematikan atau melenyapkan roh hewan dengan cara memotong saluran nafas dan saluran makanan serta urat nadi utama dilehernya dengan pisau dan pedang atau alat lainnya yang tajam sesuai dengan ketentuan syara agar halal dimakan.

“Dalam arti kata tiga urat harus putus, urat nafas, saluran makanan dan urat nadi. Minimal yah tiga ini harus putus. Jika tidak, hewan akan menderita. Kriteria menyembelih harus dengan alat yang tajam. Kemudian harus sesuai dengan syrara’.”rincinya.

Menurutnya proses menyembelih tidak sama dengan membunuh walau bertujuan sama untuk mematikan. Karena membunuh bisa digunakan dengan banyak cara seperti diracun, dibakar atau dibenamkan dan hewan itu dinilai sebagai bangkai, sedangkan menyembelih harus sesuai dengan ketentuan Syara' dan aturan berlaku menurut Islam.

Ia menambahkan pada prinsipnya penyembelihan harus dilakukan dengan cara yang ihsan. 

Sedikitnya ada dua cara penyembelihan, pertama cara tradisional dan kedua menggunakan alat modern seperti pemingsanan dan tanpa pemingsanan.

Untuk penyembelihan secara tradisional juru sembelih harus cermat dan hati-hati. Etika dalam penyembelihan harus ada, tidak bisa sembarangan. Dalam Islam mengatur secara sempurna dengan cara yang beretika dan bernorma sosial.

“Alhamdulillah di Sumbar saat ini sudah tidak ada RPH yang menggunakan proses stuning dalam mematikan hewan atau dengan cara cara yang tidak lazim secara keislaman. Dan semoga saja juga tidak ada yang melakukan proses yang tidak lazim secara syar'i,”wantinya.

Pihaknya meyakini melihat fenomena sekarang, kebutuhan akan RPH dan RPU Halal semakin meningkat. Terlebih lagi sejak Oktober tahun ini semua produk sudah wajib memiliki sertifikat halal.

Tak terkecuali masyarakat Sumbar juga harus meningkatkan kesadaran tinggi akan pentingnya sertifikasi kehalalan sebuah produk. Hanya saja sangat disayangkan, sampai hari ini tingkat kesadarannya akan sertifikasi halal di Sumbar masih tergolong rendah. 

“Itulah mengapa mulai Oktober 2024, jika tidak ada sertifikasi halal produk maka usahanya berpotensi untuk distop. Suka atau tidak suka, kesadaran pelaku usaha harus terus di sosialisasikan. Mau tidak mau aturan yang akan mengubah mindset masyarakat tersebut nantinya.”wantinya.

Selain itu ia memaparkan meningkatnya kebutuhan RPH dan RPU merupakan amanat undang-undang.

Sebagai salah seorang Tim penilai destinasi halal di Sumatera Barat yang dikenal dengan slogan Adat Bassndi Syara', Syara' Basandi Kitabullah, ia menyebut destinasi pariwisata halal harus terus ditingkatkan. Tentu saja dengan memahami bahwa harus ada restoran halal, cafe halal ataupun kantin halal pada objek wisata dimaksud.

 “Restoran tersebut bisa memiliki sertifikasi halal kalau sumber pengolahan produk yang berbahan dasar daging misalnya sudah bersertifikat halal,”sebutnya.

Hingga berita ini diturunkan, masih berlangsung materi dari narasumber lainnya dari Dinas Peternakan dan Dinas Kesehatan Hewan dan BPJPH(.vera)


Editor: vethriarahmi
Fotografer: VR