Padang, Humas – Dalam sebuah forum yang memadukan semangat muda dan kedalaman spiritual, Plt Kakanwil Kemenag Provinsi Sumatera Barat Edison, menyampaikan materi krusial di hadapan 32 Finalis Duta Generasi Berencana (Genre) Sumatera Barat 2025.
Acara Pra-Karantina dan Karantina Finalis Duta Genre Sumbar yang berlangsung pada Kamis (16/10/25) di Aula Kantor Perwakilan BKKBN Provinsi Sumbar ini mengusung tema sentral tentang peran agama sebagai kompas hidup dalam mengarungi kompleksitas zaman.
Tampak hadir dalam kesempatan tersebut Kepala Perwakilan BKKBN Provinsi Sumatera Barat, Mardalena Wati Yulia, Amril Amir Dt Lelo Basa, Ketua Harian LKAAM Sumbar, Sekretaris Perwakilan BKKBN Sumbar, Dedi Agustanto, serta para finalis yang merupakan wajah-wajah penuh harapan masa depan provinsi ini.
Edison membuka pemaparan dengan sebuah refleksi mendalam. "Secara prinsip, semua agama Islam, Hindu, Buddha, Katolik, Kristen, mengajarkan kebaikan dan kebenaran. Namun, dalam praktiknya, kita masih saja menyaksikan remaja yang terjerumus dalam perampokan, perkosaan, dan tindakan asusila lainnya," ujarnya.
Menurutnya, fenomena paradoks ini bersumber dari jurang pemahaman dan pengamalan agama yang masih lebar.
Plt Kakanwil mengilustrasikan dengan gamblang fluktuasi keimanan yang kerap dialami, seperti semangat beribadah yang menggebu di bulan Ramadan, namun menguap pasca-lebaran.
"Alhamdulillah, di Kota Padang sekarang sudah ada Smart Surau, sebuah terobosan untuk menjembatani hal ini," tambahnya, mengapresiasi inovasi yang menyambungkan tradisi dengan modernitas.
Edison tidak berhenti di diagnosis permukaan. Ia menyelami akar masalahnya, dari kelemahan iman hingga penyalahgunaan dalil.
Mantan Kabid Urais ini juga menyoroti dua faktor utama, pemahaman agama yang belum sempurna dan keimanan yang labil, yang mudah dikuasai setan.
Lebih jauh, ia mengingatkan bahaya yang lebih subtil dan berbahaya penyalahgunaan dalil agama untuk membenarkan tindakan yang tidak benar.
"Dengan dalih jihad atau kebenaran, seseorang bisa melakukan hal yang keliru. Dalam internal Islam sendiri, kita mengenal ikhtilaf (perbedaan pendapat), seperti perbedaan tata cara salat antara NU dan Muhammadiyah. Bahkan dalam hal melafalkan 'Bismillah' pun ada variasi," paparnya dengan bijak.
Ia menegaskan, petunjuk agama adalah cahaya dan obat, tetapi bisa kehilangan makna jika pengamalannya tidak tepat. "Ada yang terlalu keras hingga radikal, ada pula yang terlalu longgar hingga tidak mengamalkan apa yang dipahaminya," tegasnya.
Sebagai solusi, Edison menawarkan konsep Moderasi Beragama yang gencar diusung Kemenag sebagai jalan ideal di tengah keragaman.
"Ini adalah cara pandang kita di tengah publik yang mengutamakan nilai-nilai agama universal tanpa melanggar komitmen kebangsaan," jelasnya.
Edison memberikan contoh nyata dan relatable di hadapan generasi berencana tersebut.
"Bayangkan, jika ada meyakini tarawih 8 rakaat, tetapi masjid di lingkungan kita melaksanakan 23 rakaat. Apakah kita akan memilih pulang atau ikut dengan terpaksa?" ujarnya memberikan ilustrasi. Dalam konteks inilah moderasi beragama menjadi krusial, kemampuan untuk tetap pada keyakinan pribadi sambil menghargai praktik dan keyakinan orang lain.
"Siapapun tidak bisa memaksakan keyakinannya kepada pemeluk agama lain. Tugas generasi muda adalah menguatkan agama yang diyakini dan menghargai agama orang lain. Yakini pendapat sendiri itu benar, namun tetap menghormati pendapat orang lain. Inilah karakter Islam yang sebenarnya," serunya lagi penuh keyakinan.
Edison kemudian merumuskan tiga tugas utama generasi muda dalam pengamalan agama.
Pertama, memiliki keyakinan yang kokoh. "Kalau kita Muslim, kita yakini bahwa Islam adalah agama yang benar, agama yang dicintai Allah," tegasnya. Keyakinan ini menjadi fondasi pertama.
Kedua, pembelajaran dari sumber yang valid di era digital dengan tsunami informasi.
Edison mengingatkan bahaya belajar agama dari sumber yang tidak akurat.
"Hari ini orang banyak belajar agama lewat Google. Tidak semuanya benar. Carilah yang sumbernya jelas, dari Al-Qur'an dan Hadis yang shahih. Jangan sampai pemahaman menjadi keliru karena sumber yang tidak asli," pesannya.
Ketiga, pengamalan yang konsisten. "Setelah dipelajari dengan benar, maka wajib untuk diamalkan," tuturnya.
Disamping itu tak lupa Ia memuji para finalis Duta Genre sebagai generasi muda terbaik hasil integrasi yang tepat. Ia meyakini bahwa keberhasilan hidup sangat bergantung pada sejauh mana agama dijadikan acuan dan panduan.
Edison juga menekankan pentingnya sinergi antara agama dan adat dalam membentuk generasi tangguh.
"Adat dan agama disandingkan. Tidak bisa agama saja yang benar, adat saja yang benar, tapi dicarikan jalan tengahnya," ungkapnya, menyoroti kekhasan konteks budaya Minangkabau.
Ia mendorong generasi muda memulai dari hal kecil dan konkret. Bagi pemuda Muslim Minang, misalnya, kemampuan menjadi imam salat dan menghafal Juz Amma adalah modal dasar untuk menjadi pemimpin di keluarganya kelak.
Namun, inti dari semua itu adalah menanamkan kesadaran akan pengawasan Ilahi.
"Pengawasan orang lain terbatas, tetapi pengawasan Allah Subhanahu Wa Ta'ala tidak terbatas. Jadikan Tuhan ada dalam diri, sehingga kita selalu sadar ada yang memperhatikan," tuturnya. Konsep inilah yang akan menjadi benteng paling kuat, jauh melebihi pengawasan teknologi atau manusia mana pun, sambungnya.
"Dalam bahasa Al-Qur'an, sistem Allah dan malaikat-Nya jauh lebih canggih dari gadget ciptaan manusia. Semua perbuatan akan diputar ulang dan dipertanggungjawabkan. Kita menuai apa yang kita tanam," imbuhnya.
Menutup materinya, Edison berpesan agar generasi muda tidak hanya mengejar duniawi. "Kehidupan kita tidak hanya di dunia, ada alam barzakh, ada hari pembalasan. Kalau mengejar dunia, akhirat akan tertinggal. Tapi kalau mengejar akhirat, dunianya akan terbawa," nasihat Edison penuh hikmah.
Ia menitipkan harapan besar kepada para finalis, calon-calon pemimpin masa depan. "Hari ini kalian pemuda, besok kalian jadi pemimpin. Maka, cerdaskan IQ-nya, kuatkan spiritualnya, dan juga kuatkan kecerdasan sosialnya."
Membangun empati, peduli, saling berbagi, dan suka menolong adalah manifestasi nyata dari ajaran agama, sebagaimana dicontohkan oleh Rasulullah dalam sirah nabawiyah.
"Terlebih di era digital ini, tantangan sangat berat. Dunia ada dalam genggaman. Baik buruknya bergantung pada diri masing-masing. Hanya agama yang bisa menjadi benteng untuk menyaring segala tayangan buruk di media sosial," tegasnya pada giat yang berakhir pukul 16:10 WIB tersebut.
Edison berkeyakinan dengan menguatkan keimanan dan memegang teguh moderasi beragama, Generasi Berencana Sumatera Barat diharapkan tidak hanya terhindar dari perilaku negatif, tetapi juga siap menjadi pionir yang membawa kemaslahatan bagi masyarakat, bangsa, dan agamanya di tengah gelombang perubahan global.(vera)