Padang, Humas— Di antara ratusan jemaah yang sibuk dengan kesibukannya sendiri, ada sebuah fragmen surgawi yang terhampar di sudut gedung Aula Utama Asrama Haji Padang. Di mana bakti seorang anak dan doa seorang ibu bertaut dalam satu sajadah, dalam satu niat, dalam satu harapan untuk meraih ridha-Nya.
Melihat pemandangan ini benar-benar membuat hati tercekat, membisu dalam keharuan yang tak terucap.
Seorang putera, dengan wajah teduh penuh khidmat, berdiri sebagai imam bagi keluarganya. Suaranya yang tenang namun mantap memimpin salat Zuhur berjamaah, mengalunkan ayat-ayat suci yang seakan merangkul seluruh ruang dalam keheningan khusyuk.
Tapi yang membuat momen ini begitu menghujam kalbu adalah caranya dengan lembut menuntun sang ibu. wanita yang dulu mengajarinya mengucap "Bismillah" untuk pertama kali, kini dibimbingnya untuk melafalkan niat salat jamak qasar jelang terbang ke tanah Suci.
Kata-katanya terurai perlahan, penuh kesabaran, seolah waktu berhenti berdetak.
"Nushalli fardhazh zhuhri raka'ataini qashran majmuu'an ilayhil 'ashru lillahi ta'ala.” Ucapnya pelan. Sang ibu mengikutinya dengan suara pelan namun penuh kepasrahan. Sebuah lingkaran cinta yang sempurna. Anak, yang kini menjadi penuntun bagi orang tua yang pernah membimbingnya melangkah di dunia.
Teringat, kendati sempat terhalang oleh pihak Avsex saat memasuki area bersamaan dengan proses X-ray jemaah, lantaran harus mematuhi SOP yang berlaku. Namun akhirnya, langkah ini berbuah pertemuan yang mengharukan, bisa berbincang langsung dengan seorang jemaah lansia Asmawi Sariman Saniman (87), jemaah tertua dan puteranya, yang berasal dari Jorong Sopan Jaya, Dharmasraya.
Penulis dekati usai salat berjemaah, wajahnya yang berkeriput menyimpan seribu kisah, tubuhnya yang rentan mengisyaratkan perjalanan panjang nan berliku yang ditempuh dari Dharmasraya ke Kota Padang. Namun, di balik itu semua, ada cahaya ketulusan, sebuah mimpi yang akhirnya terwujud setelah sekian lama menanti.
Tak jauh darinya, sambil berdiri Muhammad Badri (46) seorang laki laki putera dari Bapak Asmawi. Ia memandang ayahnya dengan mata berkaca-kaca. Sejak kecil, ia telah menyimpan sebuah tekad dalam relung hatinya.
"Jika kelak aku mampu, aku akan memberangkatkan haji kedua orang tuaku." ungkapnya menyahuti ketika ayahnya sudah tak bisa berkata kata.
Kini, di asrama haji ini, selangkah lagi doa dan usahanya bersimpuh menjadi kenyataan.
“Kalau sempat punya uang dan mampu ingin sekali menghajikan kedua orang tua saya, alhamdulillah dilancarkan dimudahkan, "ujarnya, lirih namun penuh makna. Sebuah pengorbanan yang tak ternilai, sebuah bakti anak kepada orang tua yang tak terukur oleh waktu.
Ia adalah anak keenam dari dua belas bersaudara, sebuah riwayat hidup yang mengajarkan arti berbagi sejak dalam buaian.
Lelaki berhati baja ini adalah seorang pengusaha UMKM, berjualan pupuk untuk kebun kelapa sawit. Seperti pupuk NPK, KZL, urea, dan segala jenis kebutuhan perkebunan. Namun, ia tak pernah terbelenggu oleh hitung-hitungan duniawi.
"Saya yakin ini rezeki dari Allah. Allah pasti kasih jalan,"* katanya, dengan keyakinan yang teguh laksana akar pohon tua.
Dan benar saja, ketika ia mendaftarkan diri dan keluarganya untuk haji pada tahun 2020, rezeki pun mengalir dari arah yang tak terduga.
"Waktu itu, hasil dagang sekitar 100 juta. Langsung saya daftarkan,"* kenangnya. Namun, untuk pelunasan, ia tak punya uang tunai. Maka, dengan hati lapang, ia melepas sepetak tanah miliknya, tanah halal yang dijadikannya jalan menuju Baitullah.
"Alhamdulillah, ditaqdirkan berangkat tahun ini," ucapnya, dengan suara yang bergetar syukur.
Namun, ketika ditanya tentang persiapan menabung untuk biaya haji dirinya, istri, dan kedua orang tuanya, Muhammad Badri hanya tersenyum.
"Saya tidak terlalu banyak mikir besok bagaimana-bagaimana. Tidak ada nabung-nabung khusus. Kalau ada uang, setor. Ada lagi sedikit dari hasil jualan, langsung saya setor ke bank," ujarnya, dengan nada bicara yang tenang, seolah kepercayaannya pada takdir telah mengikis segala keraguan.
Di antara gemuruh persiapan haji di aula utama Asrama Haji Padang, ia menyempatkan diri untuk berterima kasih pada petugas asrama yang melayani dengan penuh kehangatan.
"Bapak saya sempat kesasar, dituntun dengan sabar. Makanan pun enak, khas Padang, segar, dan cocok di lidah," tuturnya dengan wajahnya berseri seperti anak kecil yang diberi hadiah.
Namun, di balik semua itu, ada satu doa yang terus mengalir dari bibirnya. Sebuah harapan besar agar anak-anaknya kelak menjadi saleh dan salihah, dan suatu hari nanti, mereka pun bisa menjejakkan kaki di tanah suci.
"Entah biayanya dari saya atau dari mereka sendiri, yang penting doa saya selalu menyertai," bisiknya, seolah sedang menitipkan pesan pada angin yang berhembus menuju Jeddah.
Di penghujung percakapan, ia melantunkan doa dengan suara lembut.
"Allahummaj'al hajjana hajjan mabruura, “ ucapnya.
Ia berdoa untuk haji yang mabrur, amal yang diterima, dan perniagaan yang tak pernah rugi. Karena ia tahu, balasan bagi haji mabrur hanyalah surga. Tempat di mana ia berharap bisa berkumpul kembali dengan orang tuanya, istri tercinta, dan seluruh anak-anaknya.
Ketika ditanya tentang perasaannya bisa mewujudkan mimpi terbesarnya, matanya berkaca-kaca. Suaranya tersendat.
"Sungguh saya tidak pernah menyangka akhirnya bisa berangkat dengan orang tua saya. Ini perjalanan spritual yang luar biasa bagi saya, “ tambahnya memantik mata penulis turut berkaca kaca.
Dan dalam diam yang menyergap setelahnya, ada kebahagiaan yang tak terucap. Sebuah kebahagiaan yang hanya bisa dipahami oleh mereka yang berani melepas dunia, demi secercah cahaya Ilahi.
Di tengah gemuruh hati para jemaah yang bergetar menuju keberangkatan ke Jeddah kisah mereka menjadi saksi, bahwa perjalanan haji bukan sekadar tentang rukun dan syariat, melainkan juga tentang cinta, pengorbanan, dan doa yang tak pernah putus.(vera)