Padang, Humas--Penguatan Moderasi Beragama di Sumatera Barat terus bergulir. Kementerian Agama Sumatera Barat secara kontiniu melakukan pembinaan untuk melahirkan aktor kerukunan yang akan menanamkan nilai-nilai moderasi kepada masyarakat.
Menyikapi hal itu, Plh. Kepala Kanwil Kemenag Sumbar, H. Edison hadir sebagai pembicara dalam Pembinaan Aktor Kerukunan melalui Orientasi Pelopor Penguatan Moderasi Beragama bagi Tokoh Agama dan Tokoh Pendidikan yang digelar Kemenag Pesisir Selatan, Selasa (15/10).
Dikatakan Kabag, Indonesia bangsa yang heterogen, terdiri dari berbagai suku, bangsa dan agama. Tak terkecuali di Sumatera Barat, umat lintas agama sudah hidup berdampingan, menjunjung tinggi saling menghormati dan saling menghargai.
"Perbedaan harus dikelola dengan semangat moderasi agar tercipta kerukunan. Karena perbedaan adalah sebuah keniscayaan yang tidak bisa dihindari, namun harus diterima dan dikelola dengan baik," ungkap Kabag TU.
Edison juga menjelaskan berdasarkan hasil survei Alvara Research Center pada Juli 2023, 99 persen lebih masyarakat Indonesia berpendapat bahwa agama penting dalam kehidupan sehari-hari.
"Hasil survei ini harus disikapi dengan bijak agar kehidupan beragama membawa semangat persatuan bukan perpecahan. Indonesia memang bukan negara yang dilandasi satu agama, tetapi agama tidak bisa dipisahkan dari sistim pemerintahan," tegasnya.
Maka dari itu, lanjut Kabag TU, urgensi noderasi beragama sangat penting untuk memperkuat esensi ajaran agama. Mengelola keragaman tafsir keagamaan dengan mencerdaskan kehidupan keberagamaan dan merawat Keindonesiaan
"Agama tidak bisa dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Karena masyarakat sangat menjunjung tinggi nilai-nilai agama sebagai pedoman dalam menjalankan norma kehidupan di lingkungan sosial," jelas Kabag.
Mantan Kabid Urais ini juga menjabarkan seberapa penting peran agama dalam kehidupan masyarakat di Indonesia berdasarkan survey Alvara, 41.3 persen masyarakat mengatakan sangat penting sekali. 34,4 persen sangat penting dan 24,2 persen mengatakan penting.
Kabag TU juga mengulas dua arus paradigma praktik keberagaman di Indonesia, pertama praktek beragama yang substantif-inklusif yaitu, pemahaman yang mengakui keberadaan agama lain dan masih mempercayai bahwa agama yang dianut adalah benar.
Kedua, praktek beragama yang eksklusif-legal formalistik, dimana sekelompok masyarakat meyakini agamanya paling benar dan agama lain salah, sehingga kelompok tersebut akan memerangi agama lain apabila tidak tunduk kepadanya, tandas Kabag. Rinarisna