Pimpin Gerakan Tanam Sejuta Pohon di Hari Bumi, Menag: Tokoh Agama Beri Teladan Pelestarian Alam

Jakarta, Humas--Kementerian Agama menginisiasi gerakan penanaman satu juta pohon Matoa pada peringatan Hari Bumi 2025. Bersamaan itu, dilakukan peletakkan batu pertama pembangunan Pesantren Istiqlal Internasional Indonesia.

Gerakan penanaman pohon ini dipusatkan di kampus Universitas Islam Internasional Indonesia (UIII) dan serentak diikuti ASN Kementerian Agama, tokoh lintas agama, dan masyarakat dari berbagai daerah di Indonesia. Gerakan ini dipimpin oleh Menteri Agama Nasaruddin Umar. 

“Kami lakukan gerakan ini bersama keluarga besar Kementerian Agama dan para tokoh lintas agama untuk memberi teladan dalam pelestarian alam,” terang Menag Nasaruddin Umar di Cimanggis, Depok, Selasa (22/4/2025).

Hadir, Menko PMK Pratikno, Mendagri Tito Karnavian, Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Ahmad Haikal Hasan, Kepala Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH) Fadlul Imansyah, Duta Besar Uni Emirat Arab, Duta Besar Kuwait, utusan Panglima TNI dan Kapolri, serta Wakil Menteri Pertanian dan Walikota Depok M Idris.

“Gerakan bersama masyarakat ini menjadi contoh nyata dan praktik baik dalam upaya pelestarian alam di tengah fenomena krisis iklim global,” sambungnya.

Menurut Menag, isu lingkungan menjadi agenda nasional yang melibatkan semua sektor, termasuk keagamaan. Gerakan ini juga sekaligus menunjukkan komitmen Kementerian Agama terhadap gerakan hijau yang berbasis nilai.

Dijelaskan Menag, Kementerian Agama tengah mencanangkan penguatan ekoteologi sebagai salah satu dari delapan program prioritas (Astaprotas). Menurutnya, ini menjadi program strategis di tengah ancaman krisis iklim. Indonesia harus terdepan dalam pelestarian lingkungan dan itu harus berangkat dari pemahaman dan kesadaran keagamaan akan pentingnya merawat bumi. 

“Agama kaya akan nilai pelestarian lingkungan. Di Islam ada konsep khilafah yang harus dipahami manusia sebagai pelestari alam raya. Ada ajaran Tri Hita Karana dalam Hindu, Laudato Si' dalam Katolik, dan banyak nilai sejenis dalam ajaran agama yang lain. Kita akan aplikasikan dalam gerakan nyata penanaman pohon matoa,” paparnya.

"Dalam Islam ada juga pesan bahwa jika hari Kiamat akan segera tiba dan di tangan kita ada bibit pohon yang bisa ditanam, maka tanamlah," sambungnya.

*Penguatan Harmoni Alam*

Hadir memberikan sambutan, Menko PMK Pratikno menekankan pentingnya gerakan pelestarian alam. Selain relasi hamba dengan Tuhan (hablun minallah) dan hubungan antarmanusia (hablun minan-nas), Menko Pratikno juga menggarisbawahi pentingnya penguatan harmoni alam (hablum minal alam).

“Kita tidak hanya memperkuat hablun minallah dan hablun minan-nas, tapi juga hablun minal alam. Kita diberi tugas menyelamatkan alam. Saya tanam pohon, saya wakafkan oksigen untuk makhluk hidup,” sebut Menko Pratikno.

Menko Pratiko juga mengajak para tokoh agama untuk memasukan muatan pesan dalam ceramahnya bahwa melestarikan alam menjadi salah satu kewajiban. 

“UIII (Universitas Islam Indonesia Internasional), harus bisa jadi teladan dengan menjadi green campus. Dengan 140 hektar, kampus ini bisa menjadi konservasi berbagai kekayaan hayati Indonesia,” ujar Menko Pratikno.

Sekjen Kemenag Kamaruddin Amin menambahkan penanaman pohon Matoa ini dilakukan secara bertahap di seluruh Indonesia. Pada hari ini, ada sekitar 170 ribu pohon Matoa yang ditanam serentak pada 32 provinsi. Pohon Matoa dipilih karena merupakan tanaman khas Indonesia yang cepat tumbuh, kuat, serta memiliki nilai ekologis dan ekonomis. Matoa juga dapat tumbuh hampir di seluruh wilayah Nusantara, dari Sabang hingga Merauke.

Program ini mengusung tema “Energi Kita, Planet Kita”. Tema ini selaras dengan semangat Hari Bumi 2025 yang menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam mengatasi perubahan iklim dan kerusakan lingkungan global. 

“Gerakan ini juga menjadi bagian dari diplomasi hijau Kemenag di tingkat global. Kita juga menggandeng Kementerian Lingkungan Hidup dan lainnya dalam gerakan ini,” sebut Sekjen Kamaruddin Amin.

*Pesantren Istiqlal Internasional Indonesia*

Hari Bumi 2025 juga menjadi momentum peletakkan batu pertama pembangunan Pesantren Istiqlal Internasional Indonesia (PIII), madrasah dengan konsep asrama (boarding). Groundbreaking ini dilakukan oleh Menag Nasaruddin Umar, bersama Menko PMK Pratikno, Mendagri Tito Karnavian, dan sejumlah tokoh yang hadir. 

Menurut Menag, pesantren ini hadir sebagai lembaga pendidikan yang diproyeksikan menyatukan kekuatan tradisi pesantren dan visi global. “Pesantren ini dirancang untuk menjawab kebutuhan zaman dengan membentuk pemimpin umat yang moderat, cerdas, dan berdaya saing global. Bukan hanya institusi pendidikan, tetapi juga simbol kekuatan lunak (soft power) Indonesia di panggung dunia,” papar Menag.

Dijelaskan Menag, gagasan pembangunan PIII berakar pada sejarah panjang peradaban Islam. Dari Baitul Hikmah di Baghdad, cahaya ilmu berpindah ke Andalusia, Istanbul, hingga kini menuju Nusantara. 

“Dengan lebih dari 42.000 pesantren dan warisan ulama besar seperti Syekh Nawawi al-Bantani dan KH Hasyim Asy’ari, Indonesia memiliki legitimasi historis dan moral untuk menjadi pusat peradaban Islam masa depan,” tegas Menag.

Menko PMK Pratikno berharap Indonesia bisa menjadi tempat belajar tentang Islam yang damai, toleran, dan bisa hidup rukun dalam berbagai bentuk keragaman dan keberagaman. Berdirinya UIII dipicu oleh diskusi antar kepala negara. Karenanya, UIII bukan hanya proyek Indonesia, tapi juga proyek global. 

“Itulah yang membedakan antara UIII dengan UIN yang sudah ada. Jadi UIII bukan UIN baru, itu semangatnya waktu itu. UIII adalah global projeck di mana Indonesia bisa berkontribusi terhadap dunia,” paparnya. 

“UIII diberinama Islam Internasional karena kita akan banyak alumni yang menyebar ke seluruh dunia, misal jadi diplomat. Kita bisa membuat sekolah diplomat di Indonesia, membuat sekolah mengenai guru agama di seluruh dunia. Ini dirancang sebagai global project,” sambungnya.

Dirjen Pendidikan Islam Suyitno menjelaskan bahwa PIII mengemban tiga fungsi utama: pendidikan, dakwah, dan pemberdayaan masyarakat. Integrasi kurikulum diniyah klasik, capaian kompetensi nasional, dan standar internasional menjadikan pesantren ini unik. Para santri PIII nantinya tidak hanya belajar kitab al-maktubiyah (tertulis), tapi juga kitab-kitab kauniyah (kajian tentang alam). Sumber belajar mereka tidak hanya hal-hal yang bersifat personal, tetapi juga impersonal. Mereka disiapkan untuk menjadi pribadi yang dapat menyelesaikan tantangan sosial, dan berperan dalam komunitas global.

“Pesantren ini menjadi bagian dari strategi nasional untuk mewujudkan cita-cita besar bangsa. Ia mendukung Asta Cita dalam penguatan SDM unggul, toleransi antarumat, serta pemerataan ekonomi melalui kewirausahaan santri. Di dalamnya, santri dibekali ilmu agama, teknologi, kemampuan bahasa, dan akhlakul karimah,” papar Suyitno.

Kehadiran PIII, lanjut Suyitno, diharapkan memberi dampak nyata dalam beberapa tahun ke depan. Dampak itu antara lain lahirnya pemimpin umat yang moderat, berilmu, dan berakhlakul karimah, serta terbentuknya solusi atas beragam problem sosial ekonomi.

“Kehadiran PIII juga diharapkan berdampak pada tumbuhnya kewirausahaan santri yang mendorong pemerataan ekonomi dan terbangunnya jejaring toleransi global antarumat,” sebut Suyinto.

“Dengan pendekatan pendidikan yang menyentuh akal, jiwa, dan masyarakat, Pondok Pesantren Istiqlal Internasional Indonesia adalah jawaban Indonesia terhadap tantangan zaman. Inilah lokomotif peradaban Islam Indonesia yang akan memberi warna baru bagi dunia,” tandasnya.

PIII, kata Dirjen Pendis yang juga guru besar UIN Raden Fatah Palembang ini akan menjadi model pendidikan madrasah berbasis pesantren dan bertaraf internasional dengan jenjang Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs), dan Madrasah Aliyah (MA). Satuan madrasah ini nantinya dipersiapkan menjadi madrasah negeri dengan sepenuhnya menggunakan metode pembelajaran pesantren. 

Humas


Editor: Risna
Fotografer: Istimewa