Sekolah Penyuluh dan Penghulu, Kasubdit Dedi Slamet Riyadi: Kolaborasi Multistakeholder Kunci Cegah Konflik di Tengah Keragaman Indonesia

Bukittinggi, Humas-- "Jika tidak bekerja sama dan tidak bersilang kayu dalam tungku, mangko api tak akan hidup." Pepatah Minang ini menjadi pengingat betapa pentingnya kolaborasi dalam upaya pencegahan konflik di tengah beragamnya budaya, ras, dan suku bangsa Indonesia. Hal ini ditegaskan oleh Kasubdit Bina Paham Keagamaan Islam dan Penanganan Konflik Keagamaan, Dedi Slamet Riyadi, saat membuka kegiatan Sekolah Penyuluh dan Penghulu Aktor Resolusi Konflik (SPARK) Tahun 2025 di Bukittinggi, 21-24 Juli 2025. Bersama Kabid Urais Yosef Chairul, Dedi menuturkan keberagaman Indonesia harus dikelola dengan baik melalui kerja sama berbagai pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, tokoh agama, dan masyarakat. "Pencegahan konflik memerlukan sinergi dari semua pihak untuk menciptakan harmoni di tengah perbedaan," ujarnya. Ia juga mengingatkan pentingnya peran negara dalam menjamin kemerdekaan beragama, sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 29 Undang-Undang Dasar 1945. "Negara harus menegakkan konstitusi dengan melindungi dan menjamin hak beragama tanpa bersikap imparsial dalam memberikan layanan keagamaan," tegas Dedi. Kegiatan Bimtek ini diharapkan dapat memperkuat kapasitas para penyuluh agama dan penghulu sebagai aktor resolusi konflik, sekaligus mendorong terciptanya toleransi dan kerukunan di masyarakat. Dengan pendekatan multistakeholder, Indonesia diharapkan mampu menjaga kedamaian di tengah keragaman yang menjadi kekayaan bangsa. Selain itu, Kasubdit Dedi Slamet menegaskan pentingnya menjaga kearifan lokal khas Sumatera Barat yang kaya akan nilai filosofis, keindahan alam, serta budaya Minangkabau. Salah satunya melalui prinsip Tiga Tungku Sajarangan yang melibatkan peran alim ulama, ninik mamak, dan cadiak pandai. “Jika salah satu dari tiga pilar ini hilang, maka Minang akan kehilangan identitasnya,” ujar Dedi dalam sebuah kesempatan. Menurutnya, kolaborasi ketiga unsur inilah yang telah melahirkan banyak ulama dan tokoh politik berpengaruh di masa lalu. Ia juga menyoroti keragaman di Sumatera Barat, baik dari segi mazhab fikih seperti Syafi’i dan Hanafi, maupun tarekat dan organisasi masyarakat (Ormas). Namun, keberagaman ini berpotensi memicu gesekan jika tidak dikelola dengan baik. “Ketika perbedaan tidak bisa dinegosiasikan, konflik bisa muncul. Di sinilah peran Kemenag, terutama penghulu dan penyuluh, untuk melakukan mitigasi,” tegasnya. Dedi menyesalkan jika potensi konflik diabaikan hingga akhirnya meluas. “Pengalaman konflik sebelumnya harus menjadi pembelajaran. Mitigasi oleh aparatur Kemenag, khususnya penyuluh dan penghulu, sangat strategis,” katanya. Untuk itu, Kemenag terus berkomitmen meningkatkan kapasitas para penghulu dan penyuluh melalui pelatihan, meski dengan anggaran terbatas. “Syukurnya, meski dalam efisiensi, kami bisa menyelenggarakan kegiatan ini untuk enam provinsi, termasuk Sumbar. Semoga tahun depan program ini bisa berlanjut,” pungkasnya. Dengan upaya ini, Kemenag berharap potensi konflik dapat dicegah, sementara kearifan lokal Minangkabau tetap lestari sebagai pondasi harmoni masyarakat. Diikuti 55 peserta, Kegiatan yang juga dihadiri Kasubtim Kemenag RI, jajaran Katim Bidang Urais ini menghadirkan narasumber dari Subdit Bina Paham Keagamaan Islam dan Penanganan Konflik Keagamaan, Densus 88 Provinsi Sumatera Barat dan instruktur profesional. (vera)

Editor: Vethria Rahmi
Fotografer: VR