Kendari (Humas)- Mengingat bahaya gas metana dalam eksploitasi tambang batu bara. Perusahaan tambang harus memaksimalkan penggunaan peralatan pendeteksi gas metana, temperatur, dan peralatan keselamatan pekerja tambang.
Lebih kurang demikian pernyataan dua siswi berbakat dari MTsN 2 Kota Sawahlunto kepada humas saat dikonfirmasi di Lokasi Stand Expo KSM dan Myres Nasional Tahun 2023 di Gedung Olahraga Apriyani Rahayu Sultra, Selasa (05/09).
“Sejak tahun 2009 hingga kini, sudah empat kali insiden ledakan tambang batu bara di Kota Sawahlunto. Korban terbanyak pada 2009, yakni 31 orang meninggal dunia. " kata Raisya.
Bahkan yang terkini kejadian pada akhir Tahun 2022, sebanyak 14 orang korban ledakan gas methan, 10 orang diantaranya meninggal dan 4 lainnya luka berat,” jelas Dua siswi cantik Bebrina Latif Az-Zahra dan Raisya Qurrata Aini kepada humas.
Menurutnya operasional tambang dalam memang penuh risiko dan memerlukan biaya besar serta kemampuan teknis yang mumpuni untuk bisa melaksanakan sesuai prosedur.
Jika tidak begitu, insiden ledakan seperti yang terjadi di kawasan tambang batu bara di Sawahlunto, Sumatera Barat, akan terus berulang di masa mendatang.
“Nah disitulah kami berinisiatif untuk menyumbangkan pemikiran untuk antisipasi kejadian itu tidak berulang kembali. Sebelumnya alat ini sudah ada, namun masih secara konvensional. Mandornya harus masuk ke dalam lubang tambang. Jika saat mandor methananya tinggikan bisa meledak, mandor tadi bisa terdampak ledakan.” Kata rekan satu timnya Bebrina.
Itulah mengapa, insiatif menciptakan alat berbasis teknologi. Datanya bisa dilihat ke dalam hp android atau PC (komputer). Hanya saja alat ini belum bisa dikembangkan, belum bisa digunakan didalam tambang batu bara.
“Karena didalam tambang itu belum ada jaringan internet, sementara alat ini harus terhubung dengan jaringan internet baru deteksinya bisa berfungsi.” Terangnya.
Bebrina menuturkan penilitian ini melibatkan data dari para pekerja PT Bukit Asam, Tim robotik kota Sawahlunto dan dosen Politeknik Unand Kota Padang Fadhli.
Ia mengaku saat presentasi, menekankan tentang batu bara, sensor, IOT dan gas methana.
“Kami menjelaskan tentang fungsi dan arti dan ciri-ciri serta dampaknya. Misalnya untuk gas methana berapa titik konsentrasi yang dapat memicu ledakan. Kemudian tentang sensor yang kita gunakan.
Untuk sensornya ada dua, yang pertama sensor yang bisa memberikan informasi tentang temperatur dan sensor informasi tentang gas methana berapa konsentrasinya.
"Gas methana ini kan jenisnya bersifat ringan tidak berwarna dan tidak berbau dan mudah hilang jika bertemu oksigen, ” jelasnya.
Menurutnya kelemahan alat itu, harus bergantung dengan signal internet. Sementara didalam tambang belum ada internet.
Makanya mereka berniat untuk mencoba dengan cara lain, misalnya menggunakan kabel internet LAN. Itu pun hanya baru sebatas keinginan, sahut Raisya. Dengan biaya yang tidak sedikit dan waktu yang mepet, wacana mau dikembangkan dan digunakan menggunakan kabel internet LAN pun pupus begitu saja, sebutnya.
“Biaya cukup besar, waktu juga singkat kami tidak bisa mengembangkannya dengan kabel internet LAN,” terangnya.
Kedua siswi tersebut mengaku, hanya ingin berupaya untuk menyumbangkan ide dan gagasan yang bersifat preventif untuk pekerja tambang batu bara di Sawahlunto.
“Bila terjadi sesuatu di luar dugaan, maka sebelum terjadi ledakan misalnya, seluruh personel dalam lubang tambang sudah dapat mengetahui secara dini. Mereka bisa segera mengevakuasi diri keluar lubang tambang. Alat deteksi mesti berfungsi terus karena juga berlaku sebagai warning system (sistem peringatan),"tutupnya.(vera)