Wamenag Ajak Perguruan Thawalib Padang Panjang Adaptif terhadap Arus Digitalisasi

Padang Panjang, Humas--Dalam kunjungannya ke Sumatera Barat, Wakil Menteri Agama (Wamenag), Romo Muhammad Syafi'i didampingi Kakanwil Kemenag Sumbar, Mahyudin juga melakukan kunjungan ke Perguruan Thawalib Padang Panjang, Sabtu (17/5).

Turut hadir bersama Wamenag, Staf Ahli Iswandi Syahputra dan Tenaga Ahli, Junisab Akbar, Gubernur Diwakili Asisten 1, Ahmad Zakri, Walikota Padang Panjang, Hendri Arnis, pimpinan Thawalid, Abrar, Kepala Bidang Urais, Yosef Chairul, Kakan Kemenag Padang Panjang, Mukhlis serta jajaran.

Wamenag memberikan kuliah umum dan peletakan batu pertama Masjid Mujahidin. Ia mengajak pimpinan thawalib untuk adaptif terhadap perkembangan zaman. Karena founding father perguruan thawalib adalah orang yang visioner.

"Perguruan Thawalib Padang Panjang yang berdiri jauh sebelum kemerdekaan tahun 1911, benar-benar tokoh visioner yang mampu melihat ke depan. "Tidak mungkin kita bisa mengusir penjajahan, tidak mungkin kita bisa maju kecuali kita mulai dengan mendirikan perguruan," katanya.

Luar biasanya founding father ini berfikir untuk yang lebih luas untuk yang lebih banyak sampai-sampai lupa membangun Padang Panjang. Wamenag memberikan apresiasi dan rasa bangga kepada pendiri thawalib yang telah berjuang untuk pendidikan.

"Di wilayah yang terbilang cukup kecil dengan 60 ribu penduduk saya berharap akan muncul permata-permata baru yang akan bersinar dari Padang Panjang mewarnai Nusantara Indonesia," harap Wamenag.

Menurut Romo perhatian besar pemerintah untuk pendidikan bukan tidak beralasan, hanya dengan melalui pendidikan kita bisa melakukan perubahan besar ke arah kemajuan dibidang apapun yang akan direncanakan.

Untuk kepada ketua yayasan Thawalib Romo berpesan, apa yang menjadi pelajaran di thawalib ini, harus adaptif terhadap perkembangan zaman. Karena kita dihadapkan dengan distorsi pemahaman tentang keislaman.

"Karena kalau pemahaman tradisionalis itu mengangggap cerita agama itu hanya cerita tentang fikih, thaharah, haji, pernikahan dan lain sebagainya. Diluar itu dianggap pengetahuan umum, pengetahuan Islam hanya itu," sebut romo.

Menurut Romo ketika sudah ikut pesantren jadi santri tidak boleh nonton tv, tidak boleh teknologi, jangan pake handphone, ini sesuatu yang keliru.  Ini sama dengan pisau, tergantung siapa yang memakai.

"Yang penting bagaimana kita berhasil menanamkan kebenaran keislaman di benak mereka, tauhid yang kokoh, kemudian dengan tuntunan-tuntunan mereka tetap berteknologi. Mereka tetap ikut perkembangan digitalisasi tapi penggunaannya berbeda dengan mereka yang bukan alumni thawalib," tegas Romo.

Sehingga deras arus perubahan digitalisasi tegas Romo, yang tidak mungkin dibendung, yang awalnya mengkhawatirkan tetapi ketika para pendidik memahami bagaimana memagari para santri, mereka tetap bisa bersama teman yang lain didalam digitalisasi itu tetapi memiliki pedoman yang kuat, pungkas Romo. Rina


Editor: Risna
Fotografer: Rina