Wujudkan Ekosistem Halal, BPJPH dan Komisi VIII DPR RI Gelar Diseminasi NSPK Jaminan Produk Halal

Padang, Humas – Transformasi nilai-nilai agama menjadi aturan positif yang mengikat secara hukum merupakan sebuah keniscayaan. Transformasi nilai nilai agama yang ada di dalam kitab suci menjadi aturan  positif yang mengikat secara hukum adalah salah satu bukti hadirnya negara dalam upaya meningkatkan pengamalan ajaran di bumi Pancasila.Hal ini ditegaskan oleh Plt Kakanwil Kementerian Agama Sumatera Barat Edison.

 “Alhamdulillah kita bersyukur tinggal di negara Indonesia dimana banyak aturan Allah di dalam al Quran yang diformulasikan menjadi aturan undang undang atau hukum positif.  Seperti undang undang zakat, Waqaf, penyelenggaraan haji dan jaminan produk halal. Kalau hanya di dalam kitab suci Al Qur'an atau hadis dan kitab kitab fikih saja, tentu tidak mengikat secara hukum kenegaraan," ujarnya didampingi Kabid Urais Yosef Chairul dan PIC Kemitraan dan Standardisasi Halal BPJPH.

Pernyataan tersebut disampaikan dalam acara Diseminasi Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) Jaminan Produk Halal Balai Pengelola Jaminan Produk Halal (BPJPH), yang menghadirkan Anggota Komisi VIII DPR RI, Lisda Hendra Joni. Kegiatan berlangsung di Aula Amal Bhakti I Kanwil Kemenag Sumbar, Kamis (09/10/25).

Edison menyebutkan sejumlah undang-undang yang lahir dari aspirasi keagamaan, seperti Undang-Undang Zakat, Penyelenggaraan Haji dan Umrah, Wakaf, serta yang terbaru, Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal.

“Ini patut disyukuri, karena Indonesia adalah sebuah negara yang hadir untuk menjamin produk yang dipakai umat Islam,” tegasnya.

Ia menekankan bahwa masyarakat Indonesia, khususnya di Sumbar, harus cermat memastikan kehalalan suatu produk. “Jika memang tidak halal, perlu dipastikan juga ada label tidak halal,” imbuhnya pada kegiatan yang turut dihadiri Satgas Halal Sumbar Ikrar Abdi tersebut. 

Lebih jauh, Edison menjelaskan bahwa konsep halal bersifat komprehensif dan multi-dimensional. “Bicara standar, norma, dan kriteria, jika misalnya sapi itu halal, namun juru sembelihnya tidak dilatih dengan bacaan yang harus dimulai dengan bismillah, maka substansi kehalalannya perlu dipertanyakan,” jelasnya. Artinya, kehalalan tidak hanya ditentukan oleh bahan baku, tetapi juga proses produksi yang menjadi indikator kuat.

Menyambut hal tersebut, Anggota Komisi VIII DPR RI, Lisda Hendra Joni, mengingatkan bahwa UU Jaminan Produk Halal mewajibkan semua produk yang beredar dan dikonsumsi masyarakat untuk bersertifikat halal.

 “Peraturannya sudah ada, tinggal bagaimana mengimplementasikannya. Memang perlu waktu dan semua perlu proses. Sekarang diberi kesempatan untuk mensertifikasikan produk hingga batas akhir Oktober 2026,” paparnya.

Lisda menekankan bahwa pemahaman tentang halal harus melampaui sekadar menghindari babi, alkohol, atau bangkai. “Pemahamannya justru bagaimana proses dan sumber bahan bakunya. Inilah yang menjadi perhatian serius,” ujarnya.

Ia kemudian menyoroti peluang ekonomi halal global yang justru banyak dimanfaatkan oleh negara-negara non-Muslim. “Di Korea dan Thailand, luar biasa. Mereka bahkan bisa mengekspor rendang. Ini menjadi PR bagi UMKM dan entrepreneur muda Sumbar. Bagaimana rendang asli Sumbar bisa menembus pasar mancanegara,” tantangnya.

Lisda mengingatkan bahwa kurangnya kesadaran untuk mengurus sertifikat halal akan menutup peluang pasar yang luas.

“Kita sering merasa yakin produk kita sudah halal, lalu abai untuk sertifikasi. Akibatnya, kita kehilangan kesempatan merasakan manfaatnya, seperti kepercayaan konsumen dan akses pasar yang lebih luas,” jelasnya.

Manfaat sertifikasi halal, lanjut Lisda, tidak hanya melindungi konsumen tetapi juga membangun kepercayaan diri produsen. “Dengan standar halal, produk UMKM bisa lebih percaya diri diproduksi dan didistribusikan,” tambahnya.

Ia juga mengingatkan pentingnya komitmen konsisten setelah sertifikasi diperoleh. “Jangan sampai sudah punya sertifikat halal, kita malah curang. Misalnya, saat diawasi menggunakan bahan berlogo halal, tapi setelahnya tidak. Ini perlu komitmen kuat, karena kita tidak hanya bertanggung jawab pada konsumen, tetapi juga kepada Allah SWT,” tegasnya.

Sebagai inspirasi, Lisda mencontohkan kesuksesan brand kosmetik Wardah, yang didirikan oleh pengusaha asal Minang. “Dedikasinya dalam membangun ekosistem halal membawa produknya go international. Ini bukti bahwa konsep halal bukan penghambat, justru peluang besar,” katanya.

Dalam kesempatan itu, ia mengabarkan capaian positif Sumbar. “Dari target awal 24 ribuan sertifikat halal untuk Sumbar, kini tinggal 500-an lagi yang belum terealisasi. Mari segera manfaatkan kesempatan ini untuk ketenangan hati dan keberkahan dalam jual beli,” ajaknya.

Lisda berharap UMKM Sumbar dapat berkembang dan meningkatkan nilai tambah produknya, sehingga siap bersaing di pasar domestik maupun global. “Dengan persiapan pembangunan ‘kampung haji’ dan kantor khusus Kanwil untuk haji dan umrah, momentum ini harus dimanfaatkan dengan baik. Jangan sampai kita tertinggal,” pesannya.

Ditutup dengan semangat optimisme, Lisda menyatakan, “Mari kita jadikan kesempatan ini sebagai gerakan masif seluruh pelaku usaha. Dengan populasi Muslim terbesar di dunia, Indonesia berpotensi menjadi pusat halal dunia, pusat mode muslim, dan produsen inovator global. Mari wujudkan bersama,”cetusnya.

Kegiatan yang dihadiri sekitar 150 peserta ini diharapkan dapat mempercepat terwujudnya ekosistem halal yang kuat dan berdaya saing di Sumatera Barat.(vera)

 


Editor: Vethria Rahmi
Fotografer: Shammy